Di awal tahun 2023, ada sebuah isu yang menggoncang dunia akademis di Indonesia, khususnya dalam aspek integritas akademis, yaitu tentang perjokian karya ilmiah untuk mendapatkan gelar Guru Besar. Tulisan ini akan mendiskusikan tentang integritas akademis dan kasus perjokian tersebut.
Gambar oleh: LiZardboy/Pixabay
Definisi Integritas Akademis
Pertama-tama, kita perlu menyamakan pemahaman kita tentang integritas akademis. The International Center for Academic Integrity mendefinisikan integritas akademis sebagai “komitmen, bahkan di tengah segala tantangan yang ada, untuk memegang teguh enam nilai-nilai dasar sebagai berikut:
1. Kejujuran (honesty)
2. Kepercayaan (trust)
3. Keadilan (fairness)
4. Hormat (respect)
5. Tanggung-jawab (responsibility)
6. Keberanian (courage)”
Penilaian apakah sesuatu pantas atau melanggar prinsip-prinsip integritas akademis seringkali bersifat subyektif.
Dari prinsip dasar tersebut, lahirlah kesepakatan-kesepakatan tentang praktek-praktek yang dapat diterima dan yang tidak di dunia akademis. Namun demikian, perlu dicatat bahwa kesepakatan-kesepakatan ini seringkali tidak mudah dicapai, sebab penilaian apakah sesuatu pantas atau melanggar prinsip-prinsip integritas akademis seringkali bersifat subyektif. Karena itu, keputusan seputar integritas akademis harus melibatkan lebih dari satu orang untuk mengurangi level subyektivitas. Di universitas tempat saya menjabat sebagai Academic Integrity Adviser, sebuah kasus yang melibatkan integritas akademis harus melibatkan sekurangnya empat dosen sebelum keputusan dicapai.
Kasus Perjokian Karya Ilmiah & Prinsip Integritas Akademis
Sekarang, mari kita meninjau kasus perjokian karya ilmiah di Indonesia berdasarkan prinsip-prinsip integritas akademis di atas. Sebuah karya ilmiah haruslah dibuat dengan jujur (menyampaikan data riil dan apa adanya) dan ditulis hanya oleh orang-orang yang memang berkontribusi dalam penulisan dokumen karya ilmiah tersebut. Semua penulis juga harus setuju secara eksplisit untuk mempublikasikan karya ilmiah tersebut. Prinsip-prinsip ini yang dilanggar dalam kasus dosen berinisial AKAP yang membuat karya ilmiah berdasarkan skripsi mahasiswa berinisial RAS.
Salah satu isu yang dibahas artikel media tersebut adalah tentang urutan penulis dalam sebuah dokumen karya ilmiah. Secara umum, ada dua praktek yang lazim diterapkan di dunia. Yang pertama, nama-nama penulis diurutkan sesuai kontribusinya dalam persiapan karya ilmiah tersebut. Jadi, penulis pertama adalah kontributor utama penulisan artikel ilmiah tersebut. Penulis kedua adalah yang kontributor yang kedua terpenting, dan seterusnya. Sebagai contoh, untuk sebuah paper yang disiapkan oleh seorang mahasiswa bersama dosen pembimbing utama dan dosen pembimbing pembantu, misalnya, maka nama mahasiswa tersebut muncul yang paling awal, disusul oleh si dosen pembimbing utama dan terakhir dosen pembimbing pembantu.
Praktek lain yang juga umum adalah menaruh kontributor paling senior atau “pemilik” proyek (misalnya dosen pembimbing utama) di paling akhir. Jadi untuk kasus mahasiswa dengan dua dosen pembimbingnya di atas, si mahasiswa tetap menjadi penulis pertama, tapi dosen pembimbing pembantu yang menjadi penulis kedua dan terakhir, dosen pembimbing utama menjadi penulis terakhir.
Isu lain yang disinggung dalam artikel media di atas adalah tentang publikasi paper berdasarkan skripsi mahasiswa. Isu ini agak rumit, sebab orang yang mengerjakan sebuah proyek penelitian bukan penulis utama karya ilmiahnya. Kasus serupa yang sering terjadi adalah seorang mahasiswa magang mengerjakan sebuah proyek penelitian di bawah bimbingan seorang dosen. Tapi kemudian mahasiswa tersebut tidak mau atau merasa tidak mampu menyiapkan paper publikasi untuk proyek penelitian tersebut. Sehingga, si dosen pembimbinglah yang mengambil peran utama dalam penulisan papernya.
Praktek yang lazim diterima dunia akademis adalah si mahasiswa tetap menjadi penulis pertama dan dosen pembimbingnya menjadi penulis kedua. Namun, ada kalanya si mahasiswa dan si dosen sepakat bahwa lebih tepat kalau si dosen menjadi penulis pertama dan si mahasiswa mejadi penulis kedua. Hal ini masih dapat diterima asalkan kesepakatan tersebut memang dibuat tanpa tekanan.
Kembali ke kasus perjokian atas dosen AKAP di atas, saya melihat bahwa tidak ada kesepakatan yang jelas antara si mahasiswa dengan si dosen. Tambahan lagi, nama-nama dosen lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan pelaksanaan proyek penelitian tersebut tiba-tiba dimasukkan dalam paper yang dipublikasikan.
Mengenai “tim percepatan guru besar” yang juga disinggung dalam artikel media di atas, isu ini diakui oleh media yang sama sebagai isu yang abu-abu. Saya juga setuju bahwa kehadiran tim semacam ini tidak bisa langsung dicap sebagai sebuah praktek kecurangan. Di kebanyakan universitas berbasis riset di dunia, adalah sangat lazim untuk seorang guru besar atau staf akademis senior memiliki tim riset yang dipimpinnya. Tim riset ini biasanya beranggotakan dosen-dosen yang lebih junior, staf peneliti penuh waktu (misalnya post-doctoral fellow) dan mahasiswa-mahasiswa (termasuk S3, S2 dan S1).
Penelitian dilakukan sebagai kelompok dan peran si guru besar seringkali minim dalam pelaksanaan harian proyek penelitiannya. Melainkan yang berperan besar adalah para mahasiswa dan staf peneliti, sementara si guru besar lebih berperan sebagai “pemilik” proyek dan sebagai pencari dan pengelola dana penelitian. Karenanya si guru besar biasanya menjadi penulis terakhir di publikasi-publikasi yang dihasilkan, sementara mahasiswa dan staf peneliti menjadi penulis pertama dan keduanya. Dengan kata lain, saya tidak melihat kehadiran sebuah tim yang “mempermudah” dosen dan guru besar menjadi lebih produktif dalam menulis karya ilmiah sebagai sesuatu yang serta-merta melanggar prinsip-prinsip integritas akademis.
Kalau Anda atau institusi Anda tertarik untuk belajar dan berdiskusi lebih lanjut tentang integritas akademis, atau menyelenggarakan training dosen mengenai topik ini, silakan hubungi tim kami di Varsity.
---
Tentang Penulis
Alison Subiantoro, Ph.D adalah seorang pemerhati dan konsultan pendidikan tinggi Indonesia. Beliau memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun sebagai staf akademik di berbagai institusi perguruan tinggi di dalam dan luar negeri, termasuk pengalaman sebagai Academic Integrity Adviser di salah satu universitas tempatnya bekerja.
Tags: integritas; akademis; etika; academic integrity; plagiarisme; dosen; training; training dosen; pelatihan; pelatihan dosen; universitas; Indonesia
Comments