Di Indonesia, persyaratan kualifikasi pendidikan seseorang untuk bisa menjadi dosen (untuk mengajar di program studi S1) adalah memiliki minimal ijazah setingkat S2, belum harus S3. Persyaratan ini berbeda dengan kebanyakan negara maju, dimana seorang dosen bukan hanya perlu memiliki S3 tapi juga pengalaman post-doctoral. Sementara itu tuntutan tugas dosen di Indonesia tidak banyak berbeda dari negara-negara lain, yaitu mengajar, meneliti dan mengabdi kepada masyarakat, sesuai konsep Tridharma. Tapi karena banyak dosen di Indonesia tidak pernah menjalani program studi S3, yang biasanya memang khusus dirancang untuk melatih seseorang menjadi seorang peneliti mandiri, tidak mengagetkan kalau banyak dosen di Indonesia yang kewalahan dengan tugas meneliti (hasil ini sesuai dengan hasil survei Varsity yang bisa dibaca di sini).
Karena banyak dosen di Indonesia tidak pernah menjalani program studi S3 ... tidak mengagetkan kalau banyak dosen di Indonesia yang kewalahan dengan tugas meneliti
Situasi ini tidak mudah dan tidak murah untuk diselesaikan. Solusi permanennya tentu meningkatkan persyaratan pendidikan untuk menjadi dosen ke level S3. Pemerintah sudah dan sedang mengupayakan hal ini, misalnya dengan menyediakan anggaran yang tidak sedikit untuk memberikan beasiswa bagi para dosen untuk mengambil studi S3. Wacana mewajibkan semua dosen memiliki S3 pun sudah banyak didiskusikan di ruang publik. Namun demikian, untuk beberapa tahun ke depan, realistisnya banyak dosen di Indonesia akan tetap belum memiliki ijazah S3 tapi masih harus melakukan penelitian. Apakah ada solusi sementara untuk masalah ini? Saya percaya training dosen melalui metode pembimbingan (mentoring) bisa menjadi salah satu solusi yang efektif.
Saya pernah menjadi mahasiswa S3 (di Nanyang Technological University, Singapura) dan juga menjadi dosen pembimbing bagi mahasiswa-mahasiswa S3 (khususnya di The University of Auckland, Selandia Baru). Dari semua pengalaman saya tersebut, saya temukan bahwa seorang mahasiswa S3 mempelajari tiga (3) keahlian besar selama studinya.
Yang pertama adalah keahlian teknis di area yang diteliti. Sebagai contoh, proyek penelitian S3 saya adalah tentang sebuah mesin yang menghasilkan energi dari fluida bertekanan tinggi. Karena itu, melalui semua yang saya pelajari dan teliti di dalam proyek S3 tersebut, saya menjadi seorang ahli di bidang mesin penghasil energi.
Yang kedua adalah keahlian teknis umum tentang bagaimana melakukan penelitian akademis. Ini termasuk setiap tahap yang perlu dilalui dalam melakukan penelitian, termasuk:
Bagian awal, contohnya: mendefinisikan masalah yang mau diteliti (problem statement), melakukan kajian literatur (literature review), menyiapkan proposal dan anggaran, dsb.
Bagian pelaksanaan, contohnya: menyusun metode penelitian, mengumpulkan data, menganalisa data, dsb.
Bagian penutup, contohnya: membuat kesimpulan, menyiapkan laporan atau publikasi, dsb.
Yang ketiga, seorang mahasiswa S3 juga belajar soft skills seputar menjadi seorang peneliti, seperti membangun jaringan dan kolaborasi, bekerja dalam grup, bekerja-sama dengan staf pendukung, mengelola dan berbagi sumber daya, mengatur waktu, dsb.
Keahlian-keahlian di atas hanya bisa dipelajari lewat pengalaman praktek langsung meneliti. Karena itu butuh waktu yang agak panjang (studi S3 biasanya butuh setidaknya 3 tahun) dan di bawah bimbingan seseorang yang lebih senior (yaitu dosen pembimbing). Bentuk pembimbingan yang diberikan juga biasanya lebih bersifat relasional bila dibandingkan pembimbingan untuk mahasiswa S1. Dengan kata lain, model pembimbingannya lebih seperti mentoring. Saya sendiri suka membandingkan proses studi S3 dengan proses pelatihan apprenticeship dimana sang murid belajar langsung dengan meniru gurunya.
Foto oleh Yan Krukau
Nah, keahlian teknis umum tentang bagaimana melakukan penelitian dan soft skills seputar menjadi peneliti dapat diajarkan kepada dosen-dosen yang ingin belajar tentang penelitian akademis tanpa harus menjalani program studi S3 itu sendiri. Caranya adalah dengan metode pembimbingan / mentoring oleh seseorang yang sudah memiliki keahlian-keahlian tersebut. Prosesnya tetap perlu waktu. Dari pengalaman saya setidaknya 2 tahun, mengingat keahlian-keahlian tersebut harus dibangun melalui pengalaman praktek langsung. Lalu, proses pembimbingan ini bisa dinyatakan berakhir dengan sukses ketika yang dibimbing isudah bisa menghasilkan publikasi berkualitas secara mandiri.
Nah, keahlian teknis umum tentang bagaimana melakukan penelitian dan soft skills seputar menjadi peneliti dapat diajarkan ... tanpa harus menjalani program studi S3 itu sendiri.
Bila Anda ingin meningkatkan kemampuan Anda di bidang penelitian lewat training dosen, khususnya lewat metode pembibingan, silakan hubungi kami di Varsity. Kami akan melakukan bincang-bincang awal dahulu untuk mengetahui konteks dan kebutuhan Anda, lalu kami akan menyusun program pelatihan dosen dan pelatih yang paling cocok dengan situasi Anda.
Bila institusi Anda tertarik untuk mengadopsi program training dosen di bidang penelitian melalui metode pembimbingan ini, silakan hubungi kami di Varsity untuk berdiskusi lebih jauh.
---
Tentang Penulis
Alison Subiantoro, Ph.D adalah seorang pemerhati dan konsultan pendidikan tinggi Indonesia. Beliau memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun sebagai staf akademik di berbagai institusi perguruan tinggi di dalam dan luar negeri.
Tags: pelatihan, dosen, training, training dosen, pelatihan dosen, penelitian, publikasi Scopus, proposal
Comments